Sunday, June 2, 2013

TELAAH KRITIS KONSEP HAKI

         Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dipungkiri telah membawa kemudahan baik dari sisi efektivitas maupun efisiensi kinerja manusia. Berbagai piranti, mulai dari rekayasa mekanika hingga perangkat lunak berupa program-program komputer telah mewarnai perkembangan dunia iptek. Maraknya penelitian di dunia iptek ini pun selanjutnya mulai tidak terpisahkan dengan dunia industri. Bahkan pada beberapa negara, perindustrian berbasis riset menjadi sumber pemasukan yang cukup besar suatu negara.
Seiring dengan berjalannya waktu, pompa perekonomian yang berbasis perkembangan riset iptek kemudian tidak hanya mengandalkan pendapatan dari sisi penjualan produk hasil riset. Regulasi atas setiap hasil riset - baik berupa produk atau pemikiran – pun juga menjadi lahan pendapatan. Salah satu regulasi utama terkait dengan perkembangan penemuan di bidang iptek ini adalah konsep Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).Sejarah Kemunculan Konsep Hak Cipta (Copyright) Bangsa yang pertama kali menekankan pada pencantuman pemilik atau penemu atas barang temuannya adalah bangsa Yunani kuno dan imperium Romawi. Meskipun demikian, mereka belum membahasnya sampai hak-hak ekonomi bagi para penemunya. Hal ini berlangsung hingga ditemukannya mesin percetakan pada abad ke-15, yang selanjutnya mulai dipikirkan perlunya perlindungan hak cipta.


Pembahasan



1.     SEJARAH HAK CIPTA


Halaman buku dari era pra-Gutenberg, sekitar tahun 1310


Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya "hak salin"). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.


 Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.


Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.


== Sejarah hak cipta di Indonesia ==

Pada tahun [1958], [Perdana Menteri Indonesia|Perdana Menteri] [Djuanda] menyatakan Indonesia keluar dari [Konvensi Bern] agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.


Pada tahun [1982], [[Pemerintah Indonesia]] mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan ''Auteurswet 1912 Staatsblad'' Nomor 600 tahun [[1912]] dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia{{ref|tanyajawab}}. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun [[1987]], Undang-undang Nomor 12 Tahun [[1997]], dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.


Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran [[Indonesia]] dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun [[1994]], pemerintah meratifikasi pembentukan [[Organisasi Perdagangan Dunia]] (''World Trade Organization'' – WTO), yang mencakup pula ''Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights'' - [[TRIPs]] ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun [[1997]], [[Pemerintah Indonesia|pemerintah]] meratifikasi kembali [[Konvensi Bern]] melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi ''World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty'' ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997{{ref|uu19'02pjls|2}}.


2.PRINSIP DASAR KONSEP HAKI.


Konvensi Hak Cipta Dunia (Universal Copyright Convention, UCC)UCC dibentuk oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai alternatif dari Konvensi Berne bagi negara-negara yang tidak menyetujui dengan aspek-aspek yang termaktub dalam Konvensi Berne, namun masih ingin berpartisipasi dalam perlindungan hak cipta multilateral.

 Negara-negara ini meliputi negara-negara berkembang, negara-negara bekas Uni Soviet.

Negara-negara tersebut menilai bahwa Konvensi Berne menguntungkan pihak Barat. Meskipun demikian, Konvensi Berne juga menjadi bagian faksi dari UCC, sehingga hak ciptanya juga diakui negara-negara non konvensi Berne.

Prinsip Dasar Konsep HaKI(Hak atas Kekayaan Intelektual) adalah hak yang timbul dari suatu karya yang dihasilkan dengan menggunakan kemampuan intelektual manusia yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, manfaat yang dimaksud adalah nilai ekonomi dalam karya tersebut.

Dalam teknis pelaksanaanya, HaKI diklasifikasikan berdasarkan jenis pemakaian objek atau barangnya menjadi dua kategori : Industrial Property dan Hak Cipta (Copyright).A.

·     Industrial Property Yang dimaksud dengan industrial property adalah semua benda hasil kreasi dan digunakan untuk tujuan industri atau komersial.

Ø  Material yang termasuk dalam kategori ini adalah : Merk, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), PVT, Rahasia dagang, dan Paten.

a. Merk adalah suatu tanda yang berupa: gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.

b. Desain IndustriAdalah suatu kreasi  bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.


c. Perlindungan Varietas Tanaman (PVT)Perlindungan Varietas Tanaman yang selanjutnya disingkat PVT, adalah perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh  Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Perlindungan Varietas Tanaman , terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman.

Obyek yang dilindungi dalam hal ini adalah hak kekayaan intelektual pemulia dalam menghasilkan varietas baru tanaman melalui kegiatan pemuliaan

(Pemulia : yang berhak atas perlindungan, Varietas : subyek dari perlindungan).

Hak PVT adalah menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu.


d. Desain dan Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST)Sirkuit Terpadu adalah produk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen untuk menghasilkan fungsi elektronik. Sedangkan Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen dalam suatu Sirkuit Terpadu yang dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu.


e. Rahasia Dagang Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang. Lingkup perlindungan dapat diberikan pada metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, daftar pelanggan, atau informasi lain di bidang teknologi dan atau bisnis. Informasi dari bidang teknologi yang dapat dilindungi dengan sistem rahasia dagang mencakup : Metode Penjualan, Metode produksi, Komposisi ramuan.


f. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Dalam hal ini, inventor menjelaskan invensinya secara lengkap dalam bentuk dokumen yang dipublikasi sehingga orang lain tahu persis apa yang telah ditemukan oleh inventor. Sebagai imbalannya, pemerintah memberi hak monopoli untuk jangka waktu tertentu bagi inventor. Hak monopoli tersebut disebut sebagai paten. Dalam rezim paten dikenal istilah pemilik dan pemegang paten. Inventor pada dasarnya adalah  pemilik paten. Ia selanjutnya dapat memberikan hak pada pihak lain, yang dengannya pihak lain tersebut menjadi pemegang hak paten. Hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada Inventor/ Pemegang Hak adalah : Melaksanakan sendiri Invensinya, Memberi persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya, dan Melarang pihak lain yang melaksanakan Invensinya tanpa hak.B. Hak Cipta (Copyright) Hak Cipta berarti hak untuk memperbanyak suatu ciptaan yang dalam praktiknya termasuk hak untuk mempublikasikan dan menyebarluaskan. Di AS, industri hak cipta mencapai 5,68 persen dari GDP , dan tumbuh dengan nilai sekitar lebih dari dua kali dari nilai pertumbuhan ekonomi AS keseluruhan. Di negara-negara berkembang lain, industri hak cipta mencapai 3 hingga 6 persen dari GDP. Kapitalisme di Balik Konsep HaKI Dengan memahami realitas konsep HaKI sejak kemunculannya hingga saat ini, setidaknya terdapat beberapa term cermin pola peradaban dengan adanya regulasi HaKI, meskipun secara teknis pelaksanaannya terkesan begitu kompleks dan administratif.Pertama : Lemahnya pelayanan hak dasar masyarakatNegara yang seharusnya bertanggung jawab dalam mengurusi segala kepentingan rakyat, termasuk di dalamnya menyediakan kemudahan dalam mengakses berbagai sumber ilmu pengetahuan – buku, publikasi, dsb. – justru memberikan jalan keluar berupa regulasi yang semakin mempersulit akses masyarakat. Regulasi dengan dalih mencegah pembajakan kemudian memberikan hak penuh pada penerbit sebagai pelaku utama (baca : memonopoli) tentu akan menambah sulitnya masyarakat menengah ke bawah. Jangankan masyarakat yang tidak mampu mengenyam pendidikan tinggi, para akademisi pun mengalami kesulitan mengakses pengetahuan baru (buku) lantaran konsep HaKI ini akibat tidak terjangkaunya harga buku ber‘register’.Dengan diberikannya hak penuh distribusi hasil riset atau kajian yang termaktub dalam buku-buku kepada para penerbit, jelas akan mengganggu distribusi ilmu pengetahuan. Dapat dibayangkan bagi negara berkembang seperti Indonesia, dengan jumlah sebagian besar penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, tentu kebijakan ini dalam jangka panjang akan membunuh masa depan bangsa.Kedua : Liberalisasi sektor publikSudah jamak diketahui, regulasi HaKI merupakan salah satu omzet pendapatan Negara. Di AS, dari tahun ke tahun industri hak cipta menjadi penyumbang pendapatan negara yang cukup besar.Dengan dimilikinya lisensi untuk ‘mengamankan’ setiap jenis usahanya, kekuatan para pemilik modal akan semakin berlipat ganda. Pada akhirnya, aktivitas industri hak cipta ini tidak lebih dari sekedar siklus perekonomian kapitalisme. Pengamatan  yang lebih mendalam atas fakta konsep HaKI akan mengantarkan pada kita bahwa motivasi utama konsep ini adalah motif ekonomi, di mana sang ‘pemula’ lah yang berhak meraup keuntungan material sebesar-besarnya  atas ‘usaha’ yang dia lakukan. Barangkali untuk mencapai penemuan tersebut ia hanya mengeluarkan sedikit tenaga dan waktu atau menggunakan metode yang umum namun belum pernah dilakukan oleh orang sebelumnya. Dengan kemunculan konsep HaKI ini, keuntungan yang diperolehnya akan mampu bertahan ‘selamanya’. Sungguh, aroma individualis khas Kapitalisme tampak di sini.Beberapa argumen yang tampaknya ‘moralis’ seringkali juga dimunculkan untuk mendukung konsep HaKI ini, seperti isu plagiarisme atau penjiplakan atas hasil karya orang lain. Meskipun demikian, ujung-ujungnya adalah supaya orang lain tidak meraup keuntungan ekonomi dengan hasil jiplakannya tersebut.Adapun terkait dengan dalih bahwa dengan regulasi HaKI akan mendorong inovasi masyarakat, maka dengan sendirinya hal ini menjadi blunder dengan penyelenggaraan sistem pendidikan – sebagai wahana distribusi iptek – ala Kapitalisme. Bagaimana mungkin anggota masyarakat dapat mengetahui perkembangan mutakhir penelitian – yang dengannya mampu memunculkan ide-ide baru – sedangkan di sisi lain terdapat pembatasan akses atas publikasi iptek ?Mendudukkan Pemahaman Sains dan Teknologi Perspektif IslamAdanya perkembangan penemuan-penemuan di dunia sains dan teknologi tidak terlepas dari keinginan masyarakat suatu bangsa untuk meningkatkan kualitas pemenuhan kebutuhan hidupnya. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup - baik secara individu maupun komunal – dengan cara yang lebih efektif dan efisien tidak terlepas dari motivasi perkembangan temuan dunia sains dan teknologi. Hal semacam ini juga dijumpai dalam dunia administrasi, seperti dunia perbankan, dan manajemen perkantoran. Kendati demikian, perkembangan di bidang sains dan teknologi maupun bidang-bidang lain sebenarnya hanya merupakan buah pemikiran yang dibangun atas suatu pemahaman (mafhum) tertentu.Penelaahan lebih lanjut atas pemahaman-pemahaman (mafahim) yang membangun pemikiran (al fikr) akan mengantarkan kita pada dua kategori pemahaman : Pemahaman atas kehidupan (mafahim ‘an al hayah, perception of live) dan Pemahaman atas esensi kebendaan (mafahim ‘an al asya’, perception of essence of thing).Pemahaman atas kehidupan diawali dengan argumentasi yang diberikan oleh manusia sebagai bagian suatu komunitas atas pertanyaan mendasar dalam kehidupan : dari mana segalanya bermula, untuk apa ia berada di dunia, dan hendak ke mana akhir kesudahannya. Jawaban atas ketiganya akan menghasilkan tiga ideologi besar dunia : Kapitalisme, Sosialisme, dan Islam. Kajian yang mendalam tentang pemahaman atas kehidupan ini memiliki potensi regulasi tata kehidupan manusia, sehingga muncullah berbagai sistem hukum yang dibangun di atas pemecahan permasalahan mendasar kehidupan.Adapun yang dimaksud dengan pemahaman atas esensi kebendaan adalah kemampuan manusia untuk mencerap suatu fakta secara mendalam untuk mencapai suatu tujuan tertentu berdasarkan kondisi fakta tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah perkembangan riset di berbagai bidang, perkembangan ilmu manajemen, struktur administratif organisasi atau pemerintahan, serta kodifikasi perundangan. Oleh karena itu, pemikiran yang lahir dari pemahaman atas esensi ini bersifat universal, dan semata untuk meningkatkan kualitas hidup manusia atau bangsa.Meskipun sebagian besar produk buah pemikiran manusia ini bersifat universal, terdapat di antaranya merupakan hasil interaksi antara ideologi ataupun agama tertentu. Sehingga penafian atas produk satu ideologi oleh ideologi lainnya seringkali terjadi. Islam, dengan konsep nashabnya, jelas menafikan penemuan teknologi kloning pada manusia dalam kehidupan.Secara definitif, An Nabhani (2001) membedakan produk-produk yang dihasilkan oleh suatu peradaban dengan istilah hadharah untuk konsep atau pemikiran yang dihasilkan oleh pemahaman atas kehidupan, dan madaniyyah untuk segala sesuatu buah pemikiran yang dihasilkan oleh pemahaman atas kebendaan. Kendati sifat madaniyyah yang universal, sebelum mengambilnya, setidaknya umat Islam harus mengetahui asal kemunculannya.Peradaban Islam dibangun sejak hadirnya Rasulullah Muhammad Saw. Beliau Saw telah meletakkan dasar-dasar konsep hadharah dan madaniyyah sebagai asas dalam membangun peradaban Islam. Terkait dengan penghukuman (justify) atas suatu fakta atau benda, beliau secara tegas menyampaikan status hukumnya berdasarkan nash-nash syara’ tanpa kompromi. Sedangkan universalitas madaniyyah beliau tunjukkan tatkala Negara Islam waktu itu membutuhkan riset teknologi persenjataan, di mana beliau memerintahkan sebagian sahabatnya untuk mempelajari pembuatan pedang di daerah Yaman. Beliau Saw menyatakan dalam perkara-perkara teknis :“kalian lebih mengetahui tentang perkara-perkara kalian”.Hukum Dasar Pemanfaatan Alam bagi Kehidupan ManusiaSecara umum, di dalam al Qur’an Allah SWT telah menyatakan kemubahan manusia untuk memanfaatkan segala yang Dia ciptakan di muka bumi. Allah SWT berfirman:

    * Maka berjalanlah di segala penjurunya, serta makanlah sebagian dari rezeki-Nya. (TQS. Al Mulk : 15)

    * Katakanlah : Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik. (TQS. Al A’raf : 32)
    * Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu. (TQS. Thaha : 81)$
    * Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (TQS. Al Baqarah : 267)
    * Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu. (TQS. Al Maidah : 87)

    * Dan makanlah yang halal lagi baik yang telah Allah berikan kepadamu. (TQS. Al Maidah 88) Dengan demikian, segala pemikiran manusia terkait dengan pengelolaan alam untuk diperoleh manfaatnya bagi kehidupan manusia, pada dasarnya adalah perkara teknis yang setiap manusia dibolehkan mempergunakan caranya masing-masing sebelum datangnya pengharaman oleh nash syara’ atas teknis pemenuhannya tersebut. Pada masa Rasulullah SAW, teknik penanaman pohon kurma misalnya, Rasulullah pernah mengajari sahabat yang bertanya kepada beliau cara menanam kurma yang baik. Setelah dipraktekkan, justru tanaman tersebut mati. Beliau pun mempersilakan sahabat tersebut untuk memilih teknik lainnya. Tampak bahwa Rasulullah SAW tidak melakukan pembatasan informasi pengetahuan teknis pemanfaatan alam bagi kehidupan manusia. Beliau juga pernah mengutus sahabatnya untuk belajar pabrikasi senjata ke daerah Yaman. Beliau pun mengadopsi sistem stempel pada pengiriman setiap surat negara kepada raja-raja di Persia, Habsyah, dan Romawi. Jikalau saja setiap teknis yang dipakai seseorang kemudian menjadi sebuah ‘komoditi perdagangan’ tentu Rasulullah SAW tidak akan melakukan transfer ilmu pengetahuan pada para sahabat beliau. Aktivitas teknis penerbitan al Qur’an dan kitab-kitab ilmu pengetahuan pada masa Khilafah juga menjadi sesuatu  yang maklum dalam peradaban Islam. Fakta ini jelas berbeda dengan gereja pada masa imperium Romawi, yang membatasi akses buku-buku gereja bagi masyarakat umum. 

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu kelak akan dikalungkan di lehernya di hari kiamat. (TQS. Ali Imran: 180)Rasulullah Saw juga menyatakan keharaman menyembunyikan ilmu agama, sebagaimana sabdanya:Barangsiapa mengerti suatu ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, maka Allah mengikatnya dengan suatu kendali dari api neraka. (THR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al Hakim, dari Abu Hurairah). Pengelolaan Kekayaan Intelektual dalam Islama. Asas Pengembangan Iptek : Aqidah Islam Penetapan aqidah Islam sebagai asas pengembangan iptek bukan berarti setiap ilmu pengetahuan harus bersumber dari syari’at Islam, sebab tidak semua ilmu pengetahuan terlahir dari aqidah Islam. Yang dimaksud aqidah Islam sebagai asas adalah dengan menjadikan aqidah Islam sebagai standar penilaian. Dengan kata lain, aqidah Islam difungsikan sebagai kaidah atau tolok ukur pemikiran dan perbuatan. Hal ini tentu berbeda dengan penyelenggaraan kebijakaan sistem Kapitalisme yang memberikan kebebasan sebesar-besarnya untuk berekspresi dan berbicara sebagai dasar pengelolaan intelektualitasnya. Sistem Islam memiliki regulasi yang khas dalam mengatur perkembangan iptek. Dari sudut pandang khasnya tersebut, kebijakan negara dalam memutuskan keberlanjutan riset iptek merupakan langkah awal sebelum hasil riset nantinya dikonsumsi masyarakat. Hal ini semata-mata untuk menjaga aqidah masyarakat dari infiltrasi pemikiran yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Pengkajian tentang kloning pada manusia misalnya, riset ini tidak akan pernah dibuka mengingat bertentangan dengan nash-nash nashab. Hal serupa, teori evolusi Darwin juga tidak akan dipelajari atau dikembangkan sebagai sebuah kebenaran. Tidak jarang, dalam lintasan sejarah Khilafah Islam, berbagai inovasi di bidang iptek dimotori oleh penerapan syari’at Islam. Sebut saja penemuan mesin pompa hidrolik oleh ahli mekanik Islam al Jazari dalam bukunya al-Jami’ bayn al-’ilm wa ’amal, al-nafi’ fi sina’at al-hiyal. Mesin ini dirancang untuk mengangkat air tanah di antaranya untuk keperluan wudhu.b. Jaminan Hak Dasar Anggota Masyarakat Berbeda halnya dengan sistem kapitalis yang melakukan berbagai regulasi untuk mendatangkan modal– yang tak jarang memarginalkan sebagian besar masyarakat bawah-, sistem Islam menegasikan pembatasan-pembatasan yang justru membuat hasil karya anggota masyarakat, terutama penelitian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tak terjangkau oleh masyarakat bawah. Di sisi lain, Negara Khilafah juga berperan dalam pemberian penghargaan kepada para ulama’ dan ilmuwan atas hasil jerih payahnya mengarang kitab atau publikasi ilmiahnya. Sejarah mencatat bahwa Khalifah al Makmun pernah memberikan emas kepada Hunain bin Ishak seberat kitab-kitab yang ia salin ke dalam bahasa arab dengan ukuran yang sama beratnya. Argumentasi ini sekaligus merupakan pukulan telak bagi pihak yang melegalkan HaKI dengan alasan akan menjaga pemiliknya (pengarang) dari kerugian finansial atas pemakaian karyanya oleh pihak lain untuk kepentingan komersial. Justru kebijakan HaKI oleh negara-lah yang menunjukkan lepas tangannya negara atas hasil kekayaan intelektual seseorang (baca : minim reward).Pengelolaan kekayaan intelektual beririsan dengan sistem pendidikan yang diberlakukan negara. Metode pembelajaran Islam mendorong pengkajian ilmu untuk diterapkan dalam kehidupan. Wal hasil, orientasi pencerapan ilmu pengetahuan maupun tsaqafah Islam adalah untuk diterapkan dalam kehidupan. Dengan sendirinya hal ini telah menjadi pilar awal inovasi iptek. Di samping itu, ketetapan syari’at Islam telah mewajibkan setiap laki-laki bekerja (bagi yang mampu) sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan primernya, berikut kebutuhan pihak-pihak yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sedangkan tidak terlaksananya kewajiban tersebut akibat tidak terenyamnya pendidikan, maka menjadikan pengadaan sistem pendidikan oleh pemerintah merupakan keharusan yang harus dipenuhi (terjangkau bahkan gratis bagi masyarakat). Dengan demikian, berbagai regulasi yang memunculkan kesulitan akses pengetahuan di tengah masyarakat jelas bertentangan dengan konsep dasar tersebut.c. Tradisi Penjagaan LiteraturSepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan seterusnya senantiasa menjaga aspek ketertelusuran data sabda Rasulullah, atau yang biasa kita kenal dengan periwayatan hadits. Tidak hanya dalam masalah aqidah dan syari’at, kebiasaan penulisan dan pencantuman ini juga dilakukan pada karya-karya ilmu pengetahuan lainnya. Sebut saja kitab Oseanografi karya Ibnu Majid, yang selain didasarkan pada pengalaman dirinya sendiri selaku navigator, juga dipadukan dengan teori-teori navigasi yang diperoleh melalui kitab-kitab para pendahulunya. Beberapa kitab yang menjadi rujukan dalam penulisan karya-karyanya tersebut antara lain kitab al-Mabadi wa al-Gayah fi Ilm al-Miqat atau kitab pengantar lengkap tentang waktu karya Abu Ali Hasan bin Umar al-Marakussi al-Magribi (wafat 660H/1262 M), kitab Surah al-Ard atau peta bumi karya Ibnu Hawqal (wafat 365 H/975 M), dan kitab al-Musytarik atau kitab tentang penanggalan karya Yaqut al-Hamawi (wafat 626/1229 M). Tradisi ini terus berlanjut hingga berakhirnya Khilafah 1924.Dengan demikian, pencantuman sumber literasi sesungguhnya adalah hal yang terpisah namun disatukan oleh ideologi Kapitalisme dalam industri hak ciptanya, sebagai bumbu pelegalan regulasi HaKI. Pencantuman literasi bahkan hampir-hampir merupakan sesuatu yang alami ketika seseorang mengeluarkan pernyataan, sebagai penguat argumentasinya. Adapun tentang merk sebagai pembeda suatu produk, maka hal ini adalah perkara yang mubah. Ini pun merupakan sesuatu yang thabi’i (alami) ketika seseorang menghasilkan suatu barang atau barang jasa. Misal, sebuah bus yang dimiliki seseorang dengan rute Surabaya – Jakarta, tentu pemilik menginginkan para penumpangnya mengenal nama bus-nya agar pada perjalanan berikutnya, sang penumpang kembali dengan mudah menggunakan jasanya. Dalam hal ini, negara hanya perlu melakukan pendaftaran semata agar tidak tumpang tindih antarpengusaha.Kesimpulan1. Realitas sejarah kemunculan konsep hak cipta mengindikasikan lemahnya pemenuhan hak dasar masyarakat – khususnya dalam pendistribusian kekayaan intelektual (via pendidikan) - oleh negara.2. Perkembangan regulasi HaKI semenjak Piagam Berne hingga dicetuskannya Konvensi Hak Cipta Dunia (UCC) menunjukkan dengan jelas liberalisasi sektor publik yang bermuara pada kepentingan ekonomi pemilik modal (pengusaha).3. Dalih untuk mencegah pembajakan dan plagiarisme di balik regulasi HaKI pada sistem Kapitalisme sesungguhnya mencerminkan kepentingan ekonomi untuk mengamankan kekuatan para pemodal.4. Islam mendasarkan pengelolaan kekayaan intelektual berbasis aqidah Islam. Segala bidang kajian maupun perkembangan temuan diselaraskan dengan syari’at Islam sebagai penentu keberlanjutan pengembangan iptek.5. Negara sebagai institusi pengelola kepentingan rakyat menegasikan berbagai regulasi yang menyulitkan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, termasuk di dalamnya penyampaian hasil penemuan iptek.6. Menyangkut perkara-perkara teknis pengusahaan manusia dalam aktivitas pekerjaannya, seperti pemakaian merk dan desain khas, negara hanya melakukan pendaftaran.

Hal ini semata-mata hanya untuk mencegah tumpang tindih pemakaian nama atau merk, dan bukan merupakan bagian sumber pendapatan negara.7. Tradisi pencantuman literatur rujukan pada suatu karya sesungguhnya merupakan perkara yang thabi’i (alami) dan universal dalam realitas sejarah peradaban manusia, sehingga merupakan fakta yang terlepas dari regulasi HaKI. 

  

3. HAK CIPTA(CopyRight)

Hak Cipta adalah suatu hak khusus untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, memberi izin tanpa  mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangan yang berlaku. Sedangkan ciptaan adalah hasil setiap karya dalam bentuk yang khas menunjuk keasliannya dalam lapangan ilmu, seni dan sastra. Suatu ciptaan pasti mempunyai pencipta. Definisi pencipta adalah seseorang/beberapa orang bersama-sama melahirkan suatu ciptaan, bisa juga orang yang merancang suatu ciptaan atau membuat karya cipta.

Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, serta orang yang menerima hak dari Pencipta, atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut. Suatu ciptaan tidak wajib didaftarkan untuk mendapatkan hak cipta. Namun jika sudah didaftarkan, maka akan mendapatkan Surat Pendaftaran Ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti jika terjadi sengketa. Hak cipta dapat dialihkan sebagian atau seluruhnya: pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian yang harus dilakukan dengan akta.

Pendaftaran hak cipta dilakukan di Kantor Hak Cipta, yaitu suatu organisasi di lingkungan departemen yang melaksanakan tugas dan kewenangan di bidang hak cipta. Dalam UU hak cipta, ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam ilmu pengetahuan, seni dan sastra:

    * buku, program komputer, semua hasil karya tulis lainnya
    * Ceramah, kuliah, pidato yang diwujudkan dengan cara diucapkan
    * alat peraga yang digunakan untuk pendidikan dan ilmu pengetahuan
    * Ciptaan lagu atau musik tanpa teks, dan lain-lain

Sedangkan yang tidak dapat didaftar sebagai ciptaan adalah:

    * ciptaan diluar ilmu pengetahuan , seni dan sastra
    * ciptaan yang tidak orisinil
    * ciptaan yang sudah milik umum

Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan sejarah. Hasil kebudayaan rakyat menjadi milik bersama dipelihara dan dilindungi oleh negara dan sekaligus negara sebagai pemegang hak cipta.

Suatu pendaftaran ciptaan dinyatakan hapus, jika:

    * penghapusan atas permohonan orang, badan hukum, atau pemegang hak cipta
    * dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

Lama perlindungan suatu ciptaan:

    * ciptaan buku, alat peraga, tari, peta, berlaku selama hidup penciptanya ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia
    * ciptaan program komputer, rekaman suara, karya siaran, berlaku selam 50 tahun sejak pertama kali diumumkan
    * ciptaan atau fotografi berlaku 25 tahun sejak diumumkan

Syarat untuk permohonan pendataran Hak Cipta:

    * mengisi formulir pendaftaran ciptaan rangkap dua
    * surat permohonan pendaftaran ciptaan mencantumkan: nama, kewarganegaraan
    * uraian ciptaanrangkap dua
    * surat permohonan pendaftaran ciptaan hanya dapat diajukan untuk satu ciptaan
    * melampirkan bukti kewarganegaraan pencipta dan pemegang hak cipta berupa fotokopi KTP
    * permohonan pendaftaran ciptaan diajukan atas nama lebih dari seorang dan satu Badan Hukum dengan demikian nama-nama harus ditulissemuanya , dengan
    * menetapkan satu alamat pemohon
    * melampirkan contoh ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya atau penggantinya
    * membayar biaya permohonannya pendaftaran sebesar Rp. 75.000 (tujuhpuluh lima ribu rupiah)

Pelanggaran Hak Cipta

Suatu perbuatan dapat dikatakan suatu pelanggaran Hak Cipta jika perbuatan tersebut melanggar hak khusus dari Pemegang Hak Cipta. Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri atas pelanggaran Hak Ciptanya. Tindak Pidana dibidang Hak Cipta dikatagorikan sebagai tindak kejahatan Ancaman Pidana dalam UU Hak Cipta diatur dalam Pasal 44 UU Hak Cipta. Setelah Penyidik Pejabat Polisi Negara RI juga Pejabat Pegawai Negeri tertentu dilingkungan Departemen lingkupdan tanggung jawabnya meliputi dan diberi wewenang khusus sebagai penyidi.

4.Tinjauan Haki Dalam Hukum Positif Dan Prespektif Islam

Pandangan para ulama mengenai HaKI

Syari'at Islam datang bukan untuk mengekang urusan hidup umat manusia. Karena setiap perintah agama pasti manfaatnya lebih besar dari kerugiannya. Bila demikian adanya, maka pengakuan dan penghargaan masyarakat internasional terhadap kekayaan intelektual seseorang, tidak bertentangan dengan Syari'at. Karena pengakuan ini, mendatangkan banyak kemaslahatan bagi umat manusia.

Harta kekayaan yang dalam bahasa arab disebut dengan al maal. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh :

    * Imam As Syafii adalah: "Setiap hal yang memiliki nilai ekonomis sehingga dapat diperjual-belikan, dan bila dirusak oleh orang lain, maka ia wajib membayar nilainya, walaupun nominasi nilainya kecil."
    * "Segala sesuatu yang bermanfaat atau dapat dimanfaatkan, baik berupa benda atau kegunaan benda", sebagaimana ditegaskan oleh Imam Az Zarkasyi.
    * "Segala sesuatu yang kegunaannya halal walau tidak dalam keadaan darurat", sebagaimana diungkapkan oleh para ulama' mazhab Hambali.


Dengan demikian, sebutan harta kekayaan menurut para ulama' mencakup kekayaan intelektual, karena kekayaan intelektual mendatangkan banyak manfaat, dan memiliki nilai ekonomis.


Hukum syariat terhadap pelanggaran HAKI

    * Di dalam Islam, hukum mencuri yang merupakan pelanggaran terhadap hak milik, ditegaskan di dalam Al-Quran: ‘Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasan dan Maha Bijaksana' . (Q.S. Al Maidah: 38 ).
    * Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda tentang bahaya mencuri bagi suatu masyarakat dan ketegasan hukumnya: ”Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya”. (RiwayatBukhari)

Hukum Nasional

Konstitusi RIS 1949

    * Pasal 8 Konstitusi RIS 1949 menyebutkan : ”Sekalian orang yang ada di daerah Negara sama berhak menuntut perlindungan untuk diri dan harta bendanya”.
    * Pasal 38 Konstitusi RIS : “Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudayaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan. Dengan menjunjung asas ini, maka penguasa memajukan sekuat tenaganya perkembangan kebangsaan dalam kebudayaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan”.

UUDS 1950

    * Pasal 8 :”Sekalian orang yang ada di daerah Negara sama berhak menuntut perlindungan untuk diri dan harta bendanya”.
    * Pasal 19 :” Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”.
    * Pasal 26 ayat (1) : ”Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain”.
    * Pasal 26 ayat (2) : ”Seorangpun tidak boleh dirampas miliknya dengan semena-mena”.
    * Pasal 26 ayat (3) : ”Hak milik itu adalah suatu fungsi social”.
    * Pasal 28 ayat (1) : ”Setiap warga Negara, sesuai dengan kecakapannya, berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan”.
    * Pasal 28 ayat (2) : ”Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan dan berhak pula atas syarat-syarat perburuhan yang adil”.
    * UUD 1945 (setelah Amendemen)
    * Pasal 28 : ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Bab XA tentang HAM (Hasil Amendemen tahun 2000)

    * Pasal 28C ayat (1) : ”Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
    * Pasal 28C ayat (2) : ”Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.
    * Pasal 28E ayat (3) : ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
    * Pasal 28G ayat (1) : ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
    * Pasal 28H ayat (4) : ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.


http://www.emocutez.com

No comments:

Post a Comment