Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak dipungkiri telah membawa kemudahan baik dari
sisi efektivitas maupun efisiensi kinerja manusia. Berbagai piranti, mulai dari
rekayasa mekanika hingga perangkat lunak berupa program-program komputer telah
mewarnai perkembangan dunia iptek. Maraknya penelitian di dunia iptek ini pun
selanjutnya mulai tidak terpisahkan dengan dunia industri. Bahkan pada beberapa
negara, perindustrian berbasis riset menjadi sumber pemasukan yang cukup besar
suatu negara.
Seiring dengan berjalannya waktu, pompa perekonomian yang
berbasis perkembangan riset iptek kemudian tidak hanya mengandalkan pendapatan
dari sisi penjualan produk hasil riset. Regulasi atas setiap hasil riset - baik
berupa produk atau pemikiran – pun juga menjadi lahan pendapatan. Salah satu
regulasi utama terkait dengan perkembangan penemuan di bidang iptek ini adalah
konsep Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).Sejarah Kemunculan Konsep Hak Cipta
(Copyright) Bangsa yang pertama kali menekankan pada pencantuman pemilik atau
penemu atas barang temuannya adalah bangsa Yunani kuno dan imperium Romawi.
Meskipun demikian, mereka belum membahasnya sampai hak-hak ekonomi bagi para
penemunya. Hal ini berlangsung hingga ditemukannya mesin percetakan pada abad
ke-15, yang selanjutnya mulai dipikirkan perlunya perlindungan hak cipta.
Pembahasan
1. SEJARAH HAK CIPTA
Halaman buku dari era pra-Gutenberg, sekitar tahun 1310
Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam
bahasa Inggris (secara harafiah artinya "hak salin"). Copyright ini
diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh
Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan
tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya.
Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang
pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat
disalin.
Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk
menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai
diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut
diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup
perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur
penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain
itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang
copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut
menjadi milik umum.
Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works
("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau
"Konvensi Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur
masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright
diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus
mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya
dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak
eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya
derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau
hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
== Sejarah hak cipta di Indonesia ==
Pada tahun [1958], [Perdana Menteri Indonesia|Perdana Menteri] [Djuanda]
menyatakan Indonesia keluar dari [Konvensi Bern] agar para intelektual
Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa
harus membayar royalti.
Pada tahun [1982], [[Pemerintah Indonesia]] mencabut pengaturan tentang hak
cipta berdasarkan ''Auteurswet 1912 Staatsblad'' Nomor 600 tahun [[1912]] dan
menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan
undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia{{ref|tanyajawab}}.
Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
[[1987]], Undang-undang Nomor 12 Tahun [[1997]], dan pada akhirnya dengan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran [[Indonesia]] dalam
pergaulan antarnegara. Pada tahun [[1994]], pemerintah meratifikasi pembentukan
[[Organisasi Perdagangan Dunia]] (''World Trade Organization'' – WTO), yang
mencakup pula ''Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Propertyrights'' - [[TRIPs]] ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak
Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun [[1997]], [[Pemerintah
Indonesia|pemerintah]] meratifikasi kembali [[Konvensi Bern]] melalui Keputusan
Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi ''World Intellectual
Property Organization Copyrights Treaty'' ("Perjanjian Hak Cipta
WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun
1997{{ref|uu19'02pjls|2}}.
2.PRINSIP DASAR KONSEP HAKI.
Konvensi Hak Cipta Dunia (Universal Copyright Convention, UCC)UCC dibentuk oleh
UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization)
sebagai alternatif dari Konvensi Berne bagi negara-negara yang tidak menyetujui
dengan aspek-aspek yang termaktub dalam Konvensi Berne, namun masih ingin
berpartisipasi dalam perlindungan hak cipta multilateral.
Negara-negara ini meliputi negara-negara berkembang, negara-negara bekas
Uni Soviet.
Negara-negara tersebut menilai bahwa Konvensi Berne menguntungkan pihak Barat.
Meskipun demikian, Konvensi Berne juga menjadi bagian faksi dari UCC, sehingga
hak ciptanya juga diakui negara-negara non konvensi Berne.
Prinsip Dasar Konsep HaKI(Hak atas Kekayaan Intelektual) adalah hak yang timbul
dari suatu karya yang dihasilkan dengan menggunakan kemampuan intelektual
manusia yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, manfaat yang
dimaksud adalah nilai ekonomi dalam karya tersebut.
Dalam teknis pelaksanaanya, HaKI diklasifikasikan berdasarkan jenis pemakaian
objek atau barangnya menjadi dua kategori : Industrial Property dan Hak Cipta
(Copyright).A.
· Industrial Property Yang dimaksud dengan industrial
property adalah semua benda hasil kreasi dan digunakan untuk tujuan industri
atau komersial.
Ø Material yang termasuk dalam kategori ini adalah : Merk, Desain
Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), PVT, Rahasia dagang, dan
Paten.
a. Merk adalah suatu tanda yang berupa: gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.
b. Desain IndustriAdalah suatu kreasi bentuk, konfigurasi, atau komposisi
garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang
berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat
diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk
menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.
c. Perlindungan Varietas Tanaman (PVT)Perlindungan Varietas Tanaman yang
selanjutnya disingkat PVT, adalah perlindungan khusus yang diberikan negara,
yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan
oleh Kantor Perlindungan Varietas Tanaman , terhadap varietas tanaman yang
dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman.
Obyek yang dilindungi dalam hal ini adalah hak kekayaan intelektual pemulia
dalam menghasilkan varietas baru tanaman melalui kegiatan pemuliaan
(Pemulia : yang berhak atas perlindungan, Varietas : subyek dari perlindungan).
Hak PVT adalah menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi
persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama
waktu tertentu.
d. Desain dan Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST)Sirkuit Terpadu adalah produk
jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen untuk menghasilkan
fungsi elektronik. Sedangkan Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan
peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen dalam suatu Sirkuit Terpadu yang
dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu.
e. Rahasia Dagang Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh
umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena
berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia
Dagang. Lingkup perlindungan dapat diberikan pada metode produksi, metode
pengolahan, metode penjualan, daftar pelanggan, atau informasi lain di bidang
teknologi dan atau bisnis. Informasi dari bidang teknologi yang dapat
dilindungi dengan sistem rahasia dagang mencakup : Metode Penjualan, Metode
produksi, Komposisi ramuan.
f. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas
hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu
melaksanakan sendiri invensinya tersebut, atau memberikan persetujuannya kepada
pihak lain untuk melaksanakannya. Dalam hal ini, inventor menjelaskan
invensinya secara lengkap dalam bentuk dokumen yang dipublikasi sehingga orang
lain tahu persis apa yang telah ditemukan oleh inventor. Sebagai imbalannya,
pemerintah memberi hak monopoli untuk jangka waktu tertentu bagi inventor. Hak
monopoli tersebut disebut sebagai paten. Dalam rezim paten dikenal istilah
pemilik dan pemegang paten. Inventor pada dasarnya adalah pemilik paten.
Ia selanjutnya dapat memberikan hak pada pihak lain, yang dengannya pihak lain
tersebut menjadi pemegang hak paten. Hak eksklusif yang diberikan oleh negara
kepada Inventor/ Pemegang Hak adalah : Melaksanakan sendiri Invensinya, Memberi
persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya, dan Melarang pihak lain
yang melaksanakan Invensinya tanpa hak.B. Hak Cipta (Copyright) Hak Cipta
berarti hak untuk memperbanyak suatu ciptaan yang dalam praktiknya termasuk hak
untuk mempublikasikan dan menyebarluaskan. Di AS, industri hak cipta mencapai
5,68 persen dari GDP , dan tumbuh dengan nilai sekitar lebih dari dua kali dari
nilai pertumbuhan ekonomi AS keseluruhan. Di negara-negara berkembang lain,
industri hak cipta mencapai 3 hingga 6 persen dari GDP. Kapitalisme di Balik
Konsep HaKI Dengan memahami realitas konsep HaKI sejak kemunculannya hingga
saat ini, setidaknya terdapat beberapa term cermin pola peradaban dengan adanya
regulasi HaKI, meskipun secara teknis pelaksanaannya terkesan begitu kompleks
dan administratif.Pertama : Lemahnya pelayanan hak dasar masyarakatNegara yang
seharusnya bertanggung jawab dalam mengurusi segala kepentingan rakyat,
termasuk di dalamnya menyediakan kemudahan dalam mengakses berbagai sumber ilmu
pengetahuan – buku, publikasi, dsb. – justru memberikan jalan keluar berupa
regulasi yang semakin mempersulit akses masyarakat. Regulasi dengan dalih
mencegah pembajakan kemudian memberikan hak penuh pada penerbit sebagai pelaku
utama (baca : memonopoli) tentu akan menambah sulitnya masyarakat menengah ke
bawah. Jangankan masyarakat yang tidak mampu mengenyam pendidikan tinggi, para
akademisi pun mengalami kesulitan mengakses pengetahuan baru (buku) lantaran
konsep HaKI ini akibat tidak terjangkaunya harga buku ber‘register’.Dengan
diberikannya hak penuh distribusi hasil riset atau kajian yang termaktub dalam
buku-buku kepada para penerbit, jelas akan mengganggu distribusi ilmu
pengetahuan. Dapat dibayangkan bagi negara berkembang seperti Indonesia, dengan
jumlah sebagian besar penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, tentu kebijakan
ini dalam jangka panjang akan membunuh masa depan bangsa.Kedua : Liberalisasi
sektor publikSudah jamak diketahui, regulasi HaKI merupakan salah satu omzet
pendapatan Negara. Di AS, dari tahun ke tahun industri hak cipta menjadi
penyumbang pendapatan negara yang cukup besar.Dengan dimilikinya lisensi untuk
‘mengamankan’ setiap jenis usahanya, kekuatan para pemilik modal akan semakin
berlipat ganda. Pada akhirnya, aktivitas industri hak cipta ini tidak lebih
dari sekedar siklus perekonomian kapitalisme. Pengamatan yang lebih
mendalam atas fakta konsep HaKI akan mengantarkan pada kita bahwa motivasi
utama konsep ini adalah motif ekonomi, di mana sang ‘pemula’ lah yang berhak
meraup keuntungan material sebesar-besarnya atas ‘usaha’ yang dia
lakukan. Barangkali untuk mencapai penemuan tersebut ia hanya mengeluarkan
sedikit tenaga dan waktu atau menggunakan metode yang umum namun belum pernah
dilakukan oleh orang sebelumnya. Dengan kemunculan konsep HaKI ini, keuntungan
yang diperolehnya akan mampu bertahan ‘selamanya’. Sungguh, aroma individualis
khas Kapitalisme tampak di sini.Beberapa argumen yang tampaknya ‘moralis’
seringkali juga dimunculkan untuk mendukung konsep HaKI ini, seperti isu
plagiarisme atau penjiplakan atas hasil karya orang lain. Meskipun demikian,
ujung-ujungnya adalah supaya orang lain tidak meraup keuntungan ekonomi dengan
hasil jiplakannya tersebut.Adapun terkait dengan dalih bahwa dengan regulasi
HaKI akan mendorong inovasi masyarakat, maka dengan sendirinya hal ini menjadi
blunder dengan penyelenggaraan sistem pendidikan – sebagai wahana distribusi
iptek – ala Kapitalisme. Bagaimana mungkin anggota masyarakat dapat mengetahui
perkembangan mutakhir penelitian – yang dengannya mampu memunculkan ide-ide
baru – sedangkan di sisi lain terdapat pembatasan akses atas publikasi iptek
?Mendudukkan Pemahaman Sains dan Teknologi Perspektif IslamAdanya perkembangan
penemuan-penemuan di dunia sains dan teknologi tidak terlepas dari keinginan
masyarakat suatu bangsa untuk meningkatkan kualitas pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup - baik secara individu
maupun komunal – dengan cara yang lebih efektif dan efisien tidak terlepas dari
motivasi perkembangan temuan dunia sains dan teknologi. Hal semacam ini juga
dijumpai dalam dunia administrasi, seperti dunia perbankan, dan manajemen
perkantoran. Kendati demikian, perkembangan di bidang sains dan teknologi
maupun bidang-bidang lain sebenarnya hanya merupakan buah pemikiran yang
dibangun atas suatu pemahaman (mafhum) tertentu.Penelaahan lebih lanjut atas
pemahaman-pemahaman (mafahim) yang membangun pemikiran (al fikr) akan
mengantarkan kita pada dua kategori pemahaman : Pemahaman atas kehidupan
(mafahim ‘an al hayah, perception of live) dan Pemahaman atas esensi kebendaan
(mafahim ‘an al asya’, perception of essence of thing).Pemahaman atas kehidupan
diawali dengan argumentasi yang diberikan oleh manusia sebagai bagian suatu
komunitas atas pertanyaan mendasar dalam kehidupan : dari mana segalanya
bermula, untuk apa ia berada di dunia, dan hendak ke mana akhir kesudahannya.
Jawaban atas ketiganya akan menghasilkan tiga ideologi besar dunia :
Kapitalisme, Sosialisme, dan Islam. Kajian yang mendalam tentang pemahaman atas
kehidupan ini memiliki potensi regulasi tata kehidupan manusia, sehingga
muncullah berbagai sistem hukum yang dibangun di atas pemecahan permasalahan
mendasar kehidupan.Adapun yang dimaksud dengan pemahaman atas esensi kebendaan
adalah kemampuan manusia untuk mencerap suatu fakta secara mendalam untuk
mencapai suatu tujuan tertentu berdasarkan kondisi fakta tersebut. Termasuk
dalam hal ini adalah perkembangan riset di berbagai bidang, perkembangan ilmu
manajemen, struktur administratif organisasi atau pemerintahan, serta
kodifikasi perundangan. Oleh karena itu, pemikiran yang lahir dari pemahaman
atas esensi ini bersifat universal, dan semata untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia atau bangsa.Meskipun sebagian besar produk buah pemikiran manusia
ini bersifat universal, terdapat di antaranya merupakan hasil interaksi antara
ideologi ataupun agama tertentu. Sehingga penafian atas produk satu ideologi
oleh ideologi lainnya seringkali terjadi. Islam, dengan konsep nashabnya, jelas
menafikan penemuan teknologi kloning pada manusia dalam kehidupan.Secara
definitif, An Nabhani (2001) membedakan produk-produk yang dihasilkan oleh
suatu peradaban dengan istilah hadharah untuk konsep atau pemikiran yang
dihasilkan oleh pemahaman atas kehidupan, dan madaniyyah untuk segala sesuatu
buah pemikiran yang dihasilkan oleh pemahaman atas kebendaan. Kendati sifat
madaniyyah yang universal, sebelum mengambilnya, setidaknya umat Islam harus
mengetahui asal kemunculannya.Peradaban Islam dibangun sejak hadirnya
Rasulullah Muhammad Saw. Beliau Saw telah meletakkan dasar-dasar konsep
hadharah dan madaniyyah sebagai asas dalam membangun peradaban Islam. Terkait
dengan penghukuman (justify) atas suatu fakta atau benda, beliau secara tegas
menyampaikan status hukumnya berdasarkan nash-nash syara’ tanpa kompromi.
Sedangkan universalitas madaniyyah beliau tunjukkan tatkala Negara Islam waktu
itu membutuhkan riset teknologi persenjataan, di mana beliau memerintahkan
sebagian sahabatnya untuk mempelajari pembuatan pedang di daerah Yaman. Beliau
Saw menyatakan dalam perkara-perkara teknis :“kalian lebih mengetahui tentang
perkara-perkara kalian”.Hukum Dasar Pemanfaatan Alam bagi Kehidupan
ManusiaSecara umum, di dalam al Qur’an Allah SWT telah menyatakan kemubahan
manusia untuk memanfaatkan segala yang Dia ciptakan di muka bumi. Allah SWT
berfirman:
* Maka berjalanlah di segala penjurunya, serta makanlah
sebagian dari rezeki-Nya. (TQS. Al Mulk : 15)
* Katakanlah : Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik. (TQS. Al A’raf : 32)
* Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami
berikan kepadamu. (TQS. Thaha : 81)$
* Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (TQS. Al Baqarah : 267)
* Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu. (TQS. Al Maidah : 87)
* Dan makanlah yang halal lagi baik yang telah Allah berikan
kepadamu. (TQS. Al Maidah 88) Dengan demikian, segala pemikiran manusia terkait
dengan pengelolaan alam untuk diperoleh manfaatnya bagi kehidupan manusia, pada
dasarnya adalah perkara teknis yang setiap manusia dibolehkan mempergunakan
caranya masing-masing sebelum datangnya pengharaman oleh nash syara’ atas
teknis pemenuhannya tersebut. Pada masa Rasulullah SAW, teknik penanaman pohon
kurma misalnya, Rasulullah pernah mengajari sahabat yang bertanya kepada beliau
cara menanam kurma yang baik. Setelah dipraktekkan, justru tanaman tersebut
mati. Beliau pun mempersilakan sahabat tersebut untuk memilih teknik lainnya.
Tampak bahwa Rasulullah SAW tidak melakukan pembatasan informasi pengetahuan
teknis pemanfaatan alam bagi kehidupan manusia. Beliau juga pernah mengutus sahabatnya
untuk belajar pabrikasi senjata ke daerah Yaman. Beliau pun mengadopsi sistem
stempel pada pengiriman setiap surat negara kepada raja-raja di Persia,
Habsyah, dan Romawi. Jikalau saja setiap teknis yang dipakai seseorang kemudian
menjadi sebuah ‘komoditi perdagangan’ tentu Rasulullah SAW tidak akan melakukan
transfer ilmu pengetahuan pada para sahabat beliau. Aktivitas teknis penerbitan
al Qur’an dan kitab-kitab ilmu pengetahuan pada masa Khilafah juga menjadi
sesuatu yang maklum dalam peradaban Islam. Fakta ini jelas berbeda dengan
gereja pada masa imperium Romawi, yang membatasi akses buku-buku gereja bagi
masyarakat umum.
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan
kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.
Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan
itu kelak akan dikalungkan di lehernya di hari kiamat. (TQS. Ali Imran:
180)Rasulullah Saw juga menyatakan keharaman menyembunyikan ilmu agama, sebagaimana
sabdanya:Barangsiapa mengerti suatu ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, maka
Allah mengikatnya dengan suatu kendali dari api neraka. (THR. Abu Dawud,
Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al Hakim, dari Abu Hurairah). Pengelolaan
Kekayaan Intelektual dalam Islama. Asas Pengembangan Iptek : Aqidah Islam
Penetapan aqidah Islam sebagai asas pengembangan iptek bukan berarti setiap
ilmu pengetahuan harus bersumber dari syari’at Islam, sebab tidak semua ilmu
pengetahuan terlahir dari aqidah Islam. Yang dimaksud aqidah Islam sebagai asas
adalah dengan menjadikan aqidah Islam sebagai standar penilaian. Dengan kata
lain, aqidah Islam difungsikan sebagai kaidah atau tolok ukur pemikiran dan
perbuatan. Hal ini tentu berbeda dengan penyelenggaraan kebijakaan sistem
Kapitalisme yang memberikan kebebasan sebesar-besarnya untuk berekspresi dan
berbicara sebagai dasar pengelolaan intelektualitasnya. Sistem Islam memiliki
regulasi yang khas dalam mengatur perkembangan iptek. Dari sudut pandang
khasnya tersebut, kebijakan negara dalam memutuskan keberlanjutan riset iptek
merupakan langkah awal sebelum hasil riset nantinya dikonsumsi masyarakat. Hal
ini semata-mata untuk menjaga aqidah masyarakat dari infiltrasi pemikiran yang
tidak sesuai dengan syari’at Islam. Pengkajian tentang kloning pada manusia
misalnya, riset ini tidak akan pernah dibuka mengingat bertentangan dengan
nash-nash nashab. Hal serupa, teori evolusi Darwin juga tidak akan dipelajari
atau dikembangkan sebagai sebuah kebenaran. Tidak jarang, dalam lintasan
sejarah Khilafah Islam, berbagai inovasi di bidang iptek dimotori oleh
penerapan syari’at Islam. Sebut saja penemuan mesin pompa hidrolik oleh ahli
mekanik Islam al Jazari dalam bukunya al-Jami’ bayn al-’ilm wa ’amal, al-nafi’
fi sina’at al-hiyal. Mesin ini dirancang untuk mengangkat air tanah di
antaranya untuk keperluan wudhu.b. Jaminan Hak Dasar Anggota Masyarakat Berbeda
halnya dengan sistem kapitalis yang melakukan berbagai regulasi untuk
mendatangkan modal– yang tak jarang memarginalkan sebagian besar masyarakat
bawah-, sistem Islam menegasikan pembatasan-pembatasan yang justru membuat
hasil karya anggota masyarakat, terutama penelitian di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi menjadi tak terjangkau oleh masyarakat bawah. Di sisi lain,
Negara Khilafah juga berperan dalam pemberian penghargaan kepada para ulama’
dan ilmuwan atas hasil jerih payahnya mengarang kitab atau publikasi ilmiahnya.
Sejarah mencatat bahwa Khalifah al Makmun pernah memberikan emas kepada Hunain
bin Ishak seberat kitab-kitab yang ia salin ke dalam bahasa arab dengan ukuran
yang sama beratnya. Argumentasi ini sekaligus merupakan pukulan telak bagi
pihak yang melegalkan HaKI dengan alasan akan menjaga pemiliknya (pengarang)
dari kerugian finansial atas pemakaian karyanya oleh pihak lain untuk
kepentingan komersial. Justru kebijakan HaKI oleh negara-lah yang menunjukkan
lepas tangannya negara atas hasil kekayaan intelektual seseorang (baca : minim
reward).Pengelolaan kekayaan intelektual beririsan dengan sistem pendidikan
yang diberlakukan negara. Metode pembelajaran Islam mendorong pengkajian ilmu
untuk diterapkan dalam kehidupan. Wal hasil, orientasi pencerapan ilmu
pengetahuan maupun tsaqafah Islam adalah untuk diterapkan dalam kehidupan.
Dengan sendirinya hal ini telah menjadi pilar awal inovasi iptek. Di samping
itu, ketetapan syari’at Islam telah mewajibkan setiap laki-laki bekerja (bagi
yang mampu) sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan primernya, berikut kebutuhan
pihak-pihak yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sedangkan tidak terlaksananya
kewajiban tersebut akibat tidak terenyamnya pendidikan, maka menjadikan
pengadaan sistem pendidikan oleh pemerintah merupakan keharusan yang harus
dipenuhi (terjangkau bahkan gratis bagi masyarakat). Dengan demikian, berbagai
regulasi yang memunculkan kesulitan akses pengetahuan di tengah masyarakat
jelas bertentangan dengan konsep dasar tersebut.c. Tradisi Penjagaan
LiteraturSepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in,
dan seterusnya senantiasa menjaga aspek ketertelusuran data sabda Rasulullah,
atau yang biasa kita kenal dengan periwayatan hadits. Tidak hanya dalam masalah
aqidah dan syari’at, kebiasaan penulisan dan pencantuman ini juga dilakukan
pada karya-karya ilmu pengetahuan lainnya. Sebut saja kitab Oseanografi karya
Ibnu Majid, yang selain didasarkan pada pengalaman dirinya sendiri selaku
navigator, juga dipadukan dengan teori-teori navigasi yang diperoleh melalui
kitab-kitab para pendahulunya. Beberapa kitab yang menjadi rujukan dalam
penulisan karya-karyanya tersebut antara lain kitab al-Mabadi wa al-Gayah fi
Ilm al-Miqat atau kitab pengantar lengkap tentang waktu karya Abu Ali Hasan bin
Umar al-Marakussi al-Magribi (wafat 660H/1262 M), kitab Surah al-Ard atau peta
bumi karya Ibnu Hawqal (wafat 365 H/975 M), dan kitab al-Musytarik atau kitab
tentang penanggalan karya Yaqut al-Hamawi (wafat 626/1229 M). Tradisi ini terus
berlanjut hingga berakhirnya Khilafah 1924.Dengan demikian, pencantuman sumber
literasi sesungguhnya adalah hal yang terpisah namun disatukan oleh ideologi
Kapitalisme dalam industri hak ciptanya, sebagai bumbu pelegalan regulasi HaKI.
Pencantuman literasi bahkan hampir-hampir merupakan sesuatu yang alami ketika
seseorang mengeluarkan pernyataan, sebagai penguat argumentasinya. Adapun
tentang merk sebagai pembeda suatu produk, maka hal ini adalah perkara yang
mubah. Ini pun merupakan sesuatu yang thabi’i (alami) ketika seseorang
menghasilkan suatu barang atau barang jasa. Misal, sebuah bus yang dimiliki
seseorang dengan rute Surabaya – Jakarta, tentu pemilik menginginkan para
penumpangnya mengenal nama bus-nya agar pada perjalanan berikutnya, sang
penumpang kembali dengan mudah menggunakan jasanya. Dalam hal ini, negara hanya
perlu melakukan pendaftaran semata agar tidak tumpang tindih antarpengusaha.Kesimpulan1.
Realitas sejarah kemunculan konsep hak cipta mengindikasikan lemahnya pemenuhan
hak dasar masyarakat – khususnya dalam pendistribusian kekayaan intelektual
(via pendidikan) - oleh negara.2. Perkembangan regulasi HaKI semenjak Piagam
Berne hingga dicetuskannya Konvensi Hak Cipta Dunia (UCC) menunjukkan dengan
jelas liberalisasi sektor publik yang bermuara pada kepentingan ekonomi pemilik
modal (pengusaha).3. Dalih untuk mencegah pembajakan dan plagiarisme di balik
regulasi HaKI pada sistem Kapitalisme sesungguhnya mencerminkan kepentingan
ekonomi untuk mengamankan kekuatan para pemodal.4. Islam mendasarkan
pengelolaan kekayaan intelektual berbasis aqidah Islam. Segala bidang kajian
maupun perkembangan temuan diselaraskan dengan syari’at Islam sebagai penentu
keberlanjutan pengembangan iptek.5. Negara sebagai institusi pengelola
kepentingan rakyat menegasikan berbagai regulasi yang menyulitkan pemenuhan
kebutuhan dasar rakyat, termasuk di dalamnya penyampaian hasil penemuan
iptek.6. Menyangkut perkara-perkara teknis pengusahaan manusia dalam aktivitas
pekerjaannya, seperti pemakaian merk dan desain khas, negara hanya melakukan
pendaftaran.
Hal ini semata-mata hanya untuk mencegah tumpang tindih pemakaian nama atau
merk, dan bukan merupakan bagian sumber pendapatan negara.7. Tradisi
pencantuman literatur rujukan pada suatu karya sesungguhnya merupakan perkara
yang thabi’i (alami) dan universal dalam realitas sejarah peradaban manusia,
sehingga merupakan fakta yang terlepas dari regulasi HaKI.
3. HAK CIPTA(CopyRight)
Hak Cipta adalah suatu hak khusus untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya, memberi izin tanpa mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundangan yang berlaku. Sedangkan ciptaan adalah hasil setiap karya
dalam bentuk yang khas menunjuk keasliannya dalam lapangan ilmu, seni dan
sastra. Suatu ciptaan pasti mempunyai pencipta. Definisi pencipta adalah
seseorang/beberapa orang bersama-sama melahirkan suatu ciptaan, bisa juga orang
yang merancang suatu ciptaan atau membuat karya cipta.
Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, serta orang yang
menerima hak dari Pencipta, atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari
orang tersebut. Suatu ciptaan tidak wajib didaftarkan untuk mendapatkan hak
cipta. Namun jika sudah didaftarkan, maka akan mendapatkan Surat Pendaftaran
Ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti jika terjadi sengketa. Hak
cipta dapat dialihkan sebagian atau seluruhnya: pewarisan, hibah, wasiat,
perjanjian yang harus dilakukan dengan akta.
Pendaftaran hak cipta dilakukan di Kantor Hak Cipta, yaitu suatu organisasi di
lingkungan departemen yang melaksanakan tugas dan kewenangan di bidang hak
cipta. Dalam UU hak cipta, ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam ilmu
pengetahuan, seni dan sastra:
* buku, program komputer, semua hasil karya tulis lainnya
* Ceramah, kuliah, pidato yang diwujudkan dengan cara
diucapkan
* alat peraga yang digunakan untuk pendidikan dan ilmu
pengetahuan
* Ciptaan lagu atau musik tanpa teks, dan lain-lain
Sedangkan yang tidak dapat didaftar sebagai ciptaan adalah:
* ciptaan diluar ilmu pengetahuan , seni dan sastra
* ciptaan yang tidak orisinil
* ciptaan yang sudah milik umum
Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan sejarah. Hasil kebudayaan
rakyat menjadi milik bersama dipelihara dan dilindungi oleh negara dan
sekaligus negara sebagai pemegang hak cipta.
Suatu pendaftaran ciptaan dinyatakan hapus, jika:
* penghapusan atas permohonan orang, badan hukum, atau pemegang
hak cipta
* dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap
Lama perlindungan suatu ciptaan:
* ciptaan buku, alat peraga, tari, peta, berlaku selama
hidup penciptanya ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia
* ciptaan program komputer, rekaman suara, karya siaran,
berlaku selam 50 tahun sejak pertama kali diumumkan
* ciptaan atau fotografi berlaku 25 tahun sejak diumumkan
Syarat untuk permohonan pendataran Hak Cipta:
* mengisi formulir pendaftaran ciptaan rangkap dua
* surat permohonan pendaftaran ciptaan mencantumkan: nama,
kewarganegaraan
* uraian ciptaanrangkap dua
* surat permohonan pendaftaran ciptaan hanya dapat diajukan
untuk satu ciptaan
* melampirkan bukti kewarganegaraan pencipta dan pemegang
hak cipta berupa fotokopi KTP
* permohonan pendaftaran ciptaan diajukan atas nama lebih
dari seorang dan satu Badan Hukum dengan demikian nama-nama harus
ditulissemuanya , dengan
* menetapkan satu alamat pemohon
* melampirkan contoh ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya
atau penggantinya
* membayar biaya permohonannya pendaftaran sebesar Rp.
75.000 (tujuhpuluh lima ribu rupiah)
Pelanggaran Hak Cipta
Suatu perbuatan dapat dikatakan suatu pelanggaran Hak Cipta jika perbuatan
tersebut melanggar hak khusus dari Pemegang Hak Cipta. Pemegang Hak Cipta
berhak mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri atas pelanggaran Hak
Ciptanya. Tindak Pidana dibidang Hak Cipta dikatagorikan sebagai tindak kejahatan
Ancaman Pidana dalam UU Hak Cipta diatur dalam Pasal 44 UU Hak Cipta. Setelah
Penyidik Pejabat Polisi Negara RI juga Pejabat Pegawai Negeri tertentu
dilingkungan Departemen lingkupdan tanggung jawabnya meliputi dan diberi
wewenang khusus sebagai penyidi.
4.Tinjauan Haki Dalam Hukum Positif Dan Prespektif Islam
Pandangan para ulama mengenai HaKI
Syari'at Islam datang bukan untuk mengekang urusan hidup umat manusia. Karena
setiap perintah agama pasti manfaatnya lebih besar dari kerugiannya. Bila
demikian adanya, maka pengakuan dan penghargaan masyarakat internasional
terhadap kekayaan intelektual seseorang, tidak bertentangan dengan Syari'at.
Karena pengakuan ini, mendatangkan banyak kemaslahatan bagi umat manusia.
Harta kekayaan yang dalam bahasa arab disebut dengan al maal. Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh :
* Imam As Syafii adalah: "Setiap hal yang memiliki
nilai ekonomis sehingga dapat diperjual-belikan, dan bila dirusak oleh orang
lain, maka ia wajib membayar nilainya, walaupun nominasi nilainya kecil."
* "Segala sesuatu yang bermanfaat atau dapat
dimanfaatkan, baik berupa benda atau kegunaan benda", sebagaimana
ditegaskan oleh Imam Az Zarkasyi.
* "Segala sesuatu yang kegunaannya halal walau tidak
dalam keadaan darurat", sebagaimana diungkapkan oleh para ulama' mazhab
Hambali.
Dengan demikian, sebutan
harta kekayaan menurut para ulama' mencakup kekayaan intelektual, karena
kekayaan intelektual mendatangkan banyak manfaat, dan memiliki nilai ekonomis.
Hukum syariat terhadap pelanggaran HAKI
* Di dalam Islam, hukum mencuri yang merupakan pelanggaran
terhadap hak milik, ditegaskan di dalam Al-Quran: ‘Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasan dan
Maha Bijaksana' . (Q.S. Al Maidah: 38 ).
* Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda tentang bahaya
mencuri bagi suatu masyarakat dan ketegasan hukumnya: ”Demi Allah! Kalau
sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya”.
(RiwayatBukhari)
Hukum Nasional
Konstitusi RIS 1949
* Pasal 8 Konstitusi RIS 1949 menyebutkan : ”Sekalian orang
yang ada di daerah Negara sama berhak menuntut perlindungan untuk diri dan
harta bendanya”.
* Pasal 38 Konstitusi RIS : “Penguasa melindungi kebebasan
mengusahakan kebudayaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan. Dengan menjunjung
asas ini, maka penguasa memajukan sekuat tenaganya perkembangan kebangsaan
dalam kebudayaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan”.
UUDS 1950
* Pasal 8 :”Sekalian orang yang ada di daerah Negara sama
berhak menuntut perlindungan untuk diri dan harta bendanya”.
* Pasal 19 :” Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai
dan mengeluarkan pendapat”.
* Pasal 26 ayat (1) : ”Setiap orang berhak mempunyai milik,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain”.
* Pasal 26 ayat (2) : ”Seorangpun tidak boleh dirampas
miliknya dengan semena-mena”.
* Pasal 26 ayat (3) : ”Hak milik itu adalah suatu fungsi social”.
* Pasal 28 ayat (1) : ”Setiap warga Negara, sesuai dengan
kecakapannya, berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan”.
* Pasal 28 ayat (2) : ”Setiap orang berhak dengan bebas
memilih pekerjaan dan berhak pula atas syarat-syarat perburuhan yang adil”.
* UUD 1945 (setelah Amendemen)
* Pasal 28 : ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang”.
Bab XA tentang HAM (Hasil Amendemen tahun 2000)
* Pasal 28C ayat (1) : ”Setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
* Pasal 28C ayat (2) : ”Setiap orang berhak untuk memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa dan negaranya”.
* Pasal 28E ayat (3) : ”Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
* Pasal 28G ayat (1) : ”Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
* Pasal 28H ayat (4) : ”Setiap orang berhak mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun”.
http://www.emocutez.com
No comments:
Post a Comment